Senin, 22 September 2014

Sejarah, Kondisi Ekonomi dan Kondisi Sosial Dusun Karang Padang



Gambar. Gunung Ungaran dan Rawa Pening

Dalam Pasal 1 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (“UU Pemerintahan Desa”): “Dusun adalah bagian wilayah dalam Desa yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan Desa”. Kemudian, di dalam Pasal 16 ayat (1) UU Pemerintahan Desa disebutkan bahwa untuk memperlancar jalannya pemerintahan desa dalam desa dibentuk dusun yang dikepalai oleh Kepala Dusun sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
 
Letak
            Dusun Karang Padang, terletak di sebuah desa yaitu Desa Gedong, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang. Dusun dengan panorama yang indah dengan latar belakang pemandangan Rawa Pening beserta Gunung Ungaran yang tampak gagah di sisi utara tempat dusun ini berada. Tak lupa sawah-sawah di bawah dusun ini menambah indahnya pemandangan yang dapat memanjakan mata. Dusun ini terletak sekitar 11 kilometer dari Salatiga.
Dusun Karang Padang sendiri terletak di Gunung Gajah. Sebenarnya ini bukan gunung, tetapi hanya sebuah bukit dengan ketinggian sekitar 500m dpl dan juga berbentuk seperti gajah bila dilihat dari kejauhan. Seperti dari Salatiga, Ambarawa, atau juga daerah-daerah lain di bawah gunung ini. Dusun ini, terutama kelurahan Gedong, dikelilingi oleh beberapa gunung. Diantaranya adalah gunung Merbabu dan juga gunung Telomoyo. Karena wilayah ini juga terdapat di kaki gunung Merbabu.
Saat malam hari, di bagian barat pada perbatasan kampung ini kita bisa melihat keindahan lampu di gunung Ungaran dan Ambarawa. Selain itu Salatiga pun terlihat dari sini tetapi hanya sebagian karena masih banyaknya pohon-pohon yang lebat.

Sejarah
            Dusun Karang Padang sebelum ada penduduk yang singgah, dusun Karang Padang hanya berupa sebuah bukit kosong dengan banyak alang-alang dan juga pohon-pohon besar. Sehingga malah nampak seperti hutan. Disini juga banyak sekali binatang buas. Sampai sekarang pun di pinggiran dusun ini masih ditemukan ular-ular besar. Terkadang kalau ke tegal (kebun yang luas yang ditanami banyak pohon) masih di jumpai kijang, landak, kera atau pun trenggiling. Tetapi tidak pernah sampai masuk ke pekarangan penduduk.
            Orang pertama yang menempati dan menjadikan ini menjadi dusun adalah Mbah Subari. Awalnya Mbah Subari menebangi pohon-pohon besar dan juga membersihkan alang-alang yang lebat agar menjadi pekarangan yang bersih dan bisa di tempati oleh orang-orang. Lalu mbah Subari menamai dusun menjadi Karang Padang agar menjadi dusun yang terang dan makmur. Mbah Subari pun mendirikan rumah di tengah-tengah dusun. Tetapi sayangnya rumah ini sudah dirobohkan oleh keturunannya yaitu Pak Sumarlan Purwo Harsono dan menjadi sebuah kebun yang ditanami buah-buahan dan juga kapulaga.
            Sekarang Karang padang menjadi pemukiman seiring dengan volume penduduk yang bertambah. Suasana yang nyaman masih terasa hingga saat ini. Apalagi kampung ini terletak jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota. Ini membuat turis berdatangan di tempat ini. Terbukti bahwa salah seorang turis asing membeli dan mendirikan sebuah vila disini.

Pendidikan
Pada tahun 1970-an sampai 1980-an warga disini banyak yang haus akan pengetahuan. Sama seperti saat Belanda masuk ke wilayah Salatiga dan Ambarawa. SD (Sekolah Dasar) hanya ada satu untuk semua warga kelurahan Gedong. Bisa dibayangkan bahwa sekolah pada masa itu hanya sekedarnya. Dinding bambu beralaskan tanah dan atap yang sudah mulai bolong menjadi saksi pendidikan warga disini untuk mendapat ilmu pengetahuan.
Untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, sekolah menengah, pemuda pada saat itu harus rela berjalan sepanjang 11 kilometer dari dusun ini sampai Salatiga. Kondisi ekonomi yang terimpit membuat anak-anak SMP dan SMA pada masa itu harus berjuang sendiri menentukan pendidikannya. Naik bus adalah barang mahal bagi mereka, karena uang Rp 50,- hanya cukup untuk pulang dan pergi sekolah. Belum mereka harus membeli peralatan sekolah dan juga biaya sekolah. Sampai-sampai mereka harus membawa barang dagangan seperti sirsak, ketela, jagung, atau hasil tani lainnya dari rumah dan dijual ke pasar untuk bisa membeli minum dan peralatan sekolah.
Karena kondisi yang seperti ini, tidak ada pemuda satu pun yang bisa melanjutkan ke jenjang perguruan. Uang mereka hanya cukup untuk makan. Maka dari itu menikah pada usia muda menjadi pilihan.
            Memasuki tahun 2000, para pemuda sudah mulai menginginkan pendidikan tinggi hingga saat ini. Kata orang tua mereka, yang dulu pernah gagal sekolah atau pun yang tidak bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi menginginkan anak-anak mereka kelak sukses dengan pendidikan yang tinggi tersebut.

Mata Pencaharian
            Sebagian besar penduduk bermata pencaharian petani. Tanah di wilayah ini subur karena memang terletak di lereng gunung. Dalam satu tahun warga bisa menghasilkan padi, jagung, kacang, dan juga ketela.
            Selain itu juga kelengkeng, lasep, sirsak, dan salak juga menjadi hasil bumi. Kelengkeng di tempa warga sering ditanyakan oleh pedagang buah di pasar Ambarawa maupun Salatiga. Karena kelengkeng disini rasanya manis dan dagingnya tebal juga klotok kata orang jawa. Biasanya kelengkeng ini diberi nama kelengkeng Kayuwangi karena memang dusun Karang padang ini berbatasan dengan dusun Kayuwangi. Selain sebagai petani, warga juga ada yang bekerja sebagai guru, tentara, buruh pabrik, pedagang/wiraswasta, dan TKI.

Agama
            Di dusun Karang Padang mayoritas penduduknya adalah Islam. Berikut ini adalah data agama penduduk per tahun 2013:
Agama
Jumlah
Islam
200 orang
Kristen
11 orang
Katholik
34 orang
           
Jumlah Penduduk
Berikut ini adalah jumlah penduduk dari Dusun Karang Padang per tahun 2013:
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki-laki
117
Perempuan
128

Budaya
            Setiap tahunnya dusun Karang Padang mengadakan acara merti dusun. Para warga masih percaya dengan hal mistik. Maka dari itu saat merti desa para warga melakukan ritual memberikan sesaji kepada leluhur mereka. Semua tempat yang dianggap keramat diberikan sesaji dengan maksud agar dusun ini tentram dan damai. Selain itu agar hasil tani para warga menjadi melimpah dan tidak ada hama. Biasanya pada waktu merti dusun para warga mengadakan acara wayangan pada siang hari dan malam hari sampai paginya. Selain wayangan agar bisa bervariasi, warga juga mengadakan seni pertunjukan reog di siang dan malam hari. Ini juga tergantung dengan hasil bumi para warga disini. Biasanya pada saat musim padi yang sukses warga akan mengadakan pertunjukan wayang. Dan bila bukan pada saat musim padi akan mengadakan pertunjukan reog.


Benda Peninggalan
Satu yang unik dari Karang Padang ini adalah peninggalan pada jaman hindu yaitu watu lumpang. Dulu, watu lumpang ini hanya digunakan sebagai pencucian keris oleh Empu Simbar Muko. Watu lumpang ini ada dua. Yang satu sebagai perendaman keris ada di tengah-tengah dusun Karang Padang ini dekat rumah Pak Marno. Tepatnya di tengah-tengah dusun. Dan satunya lagi, sebagai pencucian keris berada di jalan utama, pada pertigaan gapura dusun Karang Padang dekat rumah Pak Kadus, Sigit Hendrawan.
Tempat adanya batu ini menjadi keramat karena saat merti dusun atau acara-acara tradisional apapun yang ada di dusun ini, watu lumpang ini diberi sesaji. Biasanya pada acara wayang dan reog kedua tempat ini diberi sesaji. Sebenarnya ada sekitar delapan tempat keramat yang ada di dusun ini. Tetapi watu lumpang ini adalah yang paling mempunyai makna sendiri. Entah apa yang memberi makna tersebut. Sebab, para orang tua di dusun ini selalu memberi peringatan agar memberikan sesaji di tempat tersebut. Walaupun tanpa upacara adat, sesaji tersebut harus diletakkan di tempat itu.
Sampai saat ini tradisi ini masih dilakukan oleh warga. Karena warga percaya bahwa ada roh nenek moyang yang tinggal disana. Selain itu juga untuk menghormati. Walaupun dusun ini didirikan oleh Mbah Subari, tetapi sebelum masa penjajahan Belanda, di sekitar tempat ini pernah mendapat dampak dari masa Hindu-Budha.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar