Dalam
Pasal 1 huruf c Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (“UU Pemerintahan Desa”): “Dusun adalah bagian
wilayah dalam Desa yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan
Desa”. Kemudian, di dalam Pasal 16
ayat (1) UU Pemerintahan Desa disebutkan bahwa untuk memperlancar
jalannya pemerintahan desa dalam desa dibentuk dusun yang dikepalai oleh Kepala
Dusun sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
Letak
Dusun Karang Padang, terletak di
sebuah desa yaitu Desa Gedong, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang. Dusun
dengan panorama yang indah dengan latar belakang pemandangan Rawa Pening
beserta Gunung Ungaran yang tampak gagah di sisi utara tempat dusun ini berada.
Tak lupa sawah-sawah di bawah dusun ini menambah indahnya pemandangan yang
dapat memanjakan mata. Dusun ini terletak sekitar 11 kilometer dari Salatiga.
Dusun Karang Padang sendiri terletak di Gunung Gajah. Sebenarnya
ini bukan gunung, tetapi hanya sebuah bukit dengan ketinggian sekitar 500m dpl
dan juga berbentuk seperti gajah bila dilihat dari kejauhan. Seperti dari
Salatiga, Ambarawa, atau juga daerah-daerah lain di bawah gunung ini. Dusun
ini, terutama kelurahan Gedong, dikelilingi oleh beberapa gunung. Diantaranya
adalah gunung Merbabu dan juga gunung Telomoyo. Karena wilayah ini juga
terdapat di kaki gunung Merbabu.
Saat malam hari, di bagian barat pada perbatasan kampung ini
kita bisa melihat keindahan lampu di gunung Ungaran dan Ambarawa. Selain itu
Salatiga pun terlihat dari sini tetapi hanya sebagian karena masih banyaknya
pohon-pohon yang lebat.
Sejarah
Dusun Karang Padang sebelum ada
penduduk yang singgah, dusun Karang Padang hanya berupa sebuah bukit kosong
dengan banyak alang-alang dan juga pohon-pohon besar. Sehingga malah nampak
seperti hutan. Disini juga banyak sekali binatang buas. Sampai sekarang pun di
pinggiran dusun ini masih ditemukan ular-ular besar. Terkadang kalau ke tegal
(kebun yang luas yang ditanami banyak pohon) masih di jumpai kijang, landak,
kera atau pun trenggiling. Tetapi tidak pernah sampai masuk ke pekarangan
penduduk.
Orang pertama yang menempati dan
menjadikan ini menjadi dusun adalah Mbah Subari. Awalnya Mbah Subari menebangi
pohon-pohon besar dan juga membersihkan alang-alang yang lebat agar menjadi
pekarangan yang bersih dan bisa di tempati oleh orang-orang. Lalu mbah Subari
menamai dusun menjadi Karang Padang agar menjadi dusun yang terang dan makmur.
Mbah Subari pun mendirikan rumah di tengah-tengah dusun. Tetapi sayangnya rumah
ini sudah dirobohkan oleh keturunannya yaitu Pak Sumarlan Purwo Harsono dan
menjadi sebuah kebun yang ditanami buah-buahan dan juga kapulaga.
Sekarang Karang padang menjadi
pemukiman seiring dengan volume penduduk yang bertambah. Suasana yang nyaman
masih terasa hingga saat ini. Apalagi kampung ini terletak jauh dari hiruk
pikuk kehidupan kota. Ini membuat turis berdatangan di tempat ini. Terbukti
bahwa salah seorang turis asing membeli dan mendirikan sebuah vila disini.
Pendidikan
Pada tahun 1970-an sampai 1980-an warga disini banyak yang
haus akan pengetahuan. Sama seperti saat Belanda masuk ke wilayah Salatiga dan
Ambarawa. SD (Sekolah Dasar) hanya ada satu untuk semua warga kelurahan Gedong.
Bisa dibayangkan bahwa sekolah pada masa itu hanya sekedarnya. Dinding bambu beralaskan
tanah dan atap yang sudah mulai bolong menjadi saksi pendidikan warga disini
untuk mendapat ilmu pengetahuan.
Untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, sekolah
menengah, pemuda pada saat itu harus rela berjalan sepanjang 11 kilometer dari
dusun ini sampai Salatiga. Kondisi ekonomi yang terimpit membuat anak-anak SMP
dan SMA pada masa itu harus berjuang sendiri menentukan pendidikannya. Naik bus
adalah barang mahal bagi mereka, karena uang Rp 50,- hanya cukup untuk pulang
dan pergi sekolah. Belum mereka harus membeli peralatan sekolah dan juga biaya
sekolah. Sampai-sampai mereka harus membawa barang dagangan seperti sirsak,
ketela, jagung, atau hasil tani lainnya dari rumah dan dijual ke pasar untuk
bisa membeli minum dan peralatan sekolah.
Karena kondisi yang seperti ini, tidak ada pemuda satu pun
yang bisa melanjutkan ke jenjang perguruan. Uang mereka hanya cukup untuk
makan. Maka dari itu menikah pada usia muda menjadi pilihan.
Memasuki tahun 2000, para pemuda
sudah mulai menginginkan pendidikan tinggi hingga saat ini. Kata orang tua
mereka, yang dulu pernah gagal sekolah atau pun yang tidak bisa melanjutkan ke
jenjang yang lebih tinggi menginginkan anak-anak mereka kelak sukses dengan
pendidikan yang tinggi tersebut.
Mata Pencaharian
Sebagian besar penduduk bermata
pencaharian petani. Tanah di wilayah ini subur karena memang terletak di lereng
gunung. Dalam satu tahun warga bisa menghasilkan padi, jagung, kacang, dan juga
ketela.
Selain itu juga kelengkeng, lasep,
sirsak, dan salak juga menjadi hasil bumi. Kelengkeng di tempa warga sering
ditanyakan oleh pedagang buah di pasar Ambarawa maupun Salatiga. Karena
kelengkeng disini rasanya manis dan dagingnya tebal juga klotok kata orang jawa. Biasanya kelengkeng ini diberi nama
kelengkeng Kayuwangi karena memang dusun Karang padang ini berbatasan dengan dusun
Kayuwangi. Selain sebagai petani, warga juga ada yang bekerja sebagai guru,
tentara, buruh pabrik, pedagang/wiraswasta, dan TKI.
Agama
Di dusun Karang Padang mayoritas
penduduknya adalah Islam. Berikut ini adalah data agama penduduk per tahun 2013:
Agama
|
Jumlah
|
Islam
|
200 orang
|
Kristen
|
11 orang
|
Katholik
|
34 orang
|
Jumlah Penduduk
Berikut ini adalah jumlah penduduk dari Dusun Karang
Padang per tahun 2013:
Jenis Kelamin
|
Jumlah
|
Laki-laki
|
117
|
Perempuan
|
128
|
Budaya
Setiap tahunnya dusun Karang Padang
mengadakan acara merti dusun. Para warga masih percaya dengan hal mistik. Maka
dari itu saat merti desa para warga melakukan ritual memberikan sesaji kepada
leluhur mereka. Semua tempat yang dianggap keramat diberikan sesaji dengan
maksud agar dusun ini tentram dan damai. Selain itu agar hasil tani para warga
menjadi melimpah dan tidak ada hama. Biasanya pada waktu merti dusun para warga
mengadakan acara wayangan pada siang hari dan malam hari sampai paginya. Selain
wayangan agar bisa bervariasi, warga juga mengadakan seni pertunjukan reog di
siang dan malam hari. Ini juga tergantung dengan hasil bumi para warga disini.
Biasanya pada saat musim padi yang sukses warga akan mengadakan pertunjukan
wayang. Dan bila bukan pada saat musim padi akan mengadakan pertunjukan reog.
Benda Peninggalan
Satu yang unik dari Karang Padang ini adalah peninggalan
pada jaman hindu yaitu watu lumpang. Dulu, watu lumpang ini hanya digunakan
sebagai pencucian keris oleh Empu Simbar Muko. Watu lumpang ini ada dua. Yang
satu sebagai perendaman keris ada di tengah-tengah dusun Karang Padang ini
dekat rumah Pak Marno. Tepatnya di tengah-tengah dusun. Dan satunya lagi, sebagai
pencucian keris berada di jalan utama, pada pertigaan gapura dusun Karang Padang dekat rumah Pak
Kadus, Sigit Hendrawan.
Tempat adanya batu ini menjadi keramat karena saat merti
dusun atau acara-acara tradisional apapun yang ada di dusun ini, watu lumpang
ini diberi sesaji. Biasanya pada acara wayang dan reog kedua tempat ini diberi
sesaji. Sebenarnya ada sekitar delapan tempat keramat yang ada di dusun ini.
Tetapi watu lumpang ini adalah yang paling mempunyai makna sendiri. Entah apa
yang memberi makna tersebut. Sebab, para orang tua di dusun ini selalu memberi
peringatan agar memberikan sesaji di tempat tersebut. Walaupun tanpa upacara
adat, sesaji tersebut harus diletakkan di tempat itu.
Sampai saat ini tradisi ini masih dilakukan oleh warga.
Karena warga percaya bahwa ada roh nenek moyang yang tinggal disana. Selain itu
juga untuk menghormati. Walaupun dusun ini didirikan oleh Mbah Subari, tetapi
sebelum masa penjajahan Belanda, di sekitar tempat ini pernah mendapat dampak
dari masa Hindu-Budha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar